Di dalam sebuah karyanya, Hamidah Sulaiman menulis
bahawa “...Walaupun wanita sering
dikaitkan dengan lambang kelemahan ataupun petanda kekurangan oleh sesetangah
pihak, namun kita tidak dapat menafikan peranan penting mereka dalam melahirkan
dan membesarkan individu...”, akhirnya beliau merumuskan individu itu
seterusnya tumbuh kembang menjadi insan dengan kelebihan yang berbagai.
Semuanya bermula dari seorang ibu. Hakikat ini tidak seorang pun yang mampu
membantah kerana masing-masing kita kenal sosok seorang ibu.
Sebab itu Islam meletakkan penghormatan yang sangat
tinggi terhadap ibu, ummi, emak, mama atau apapun panggilannya. Sebagaimana
dalam sebuah hadist Nabi Saw : Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia
berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan
berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’
Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali
bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’
Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab,
‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'” (HR. Bukhari no.
5971 dan Muslim no. 2548)
Penghormatan tersebut bukan tanpa alasan, akan tetapi
Rasulullah SAW melihat begitu kental dan besarnya pengorbanan ibu bahkan
khidmatnya terhadap anak-anaknya yang tidak pernah berhenti. Mula pada saat
mengandung bahkan sehingga anak-anak berumah tanggapun masih lagi bergantung
kepada sosok seorang ibu. Ketika dalam kandungan, ibu membawa beratnya
kandungannya kesana kemari tanpa dapat dilepaskan walau sesaat. Dalam keadaan
sakit demam, beban kandungan tetap dibawa. Belum lagi dengan pergerakan yang
terbatas, dengan hati yang senantiasa cemas, risau bayi yang dikandung tidak sihat
sehingga nantinya keguguran. Beratnya tugas dan tanggungjawab sebagai ibu
rumahtangga tetap ibu jalani. Memasak, mencuci baju dan pinggan mangkuk bahkan
mengurus anak-anak yang lain tetap dijalani dengan penuh pengorbanan. Bahkan
tidak jarang sosok seorang ibu adalah seorang pekerja. Ada yang bekerja di
pejabat, dikilang bahkan ada yang bekerja diladang dan menjadi kuli upahan demi
untuk memastikan keperluan anak-anak tetap terpenuhi, meringankan beban sang
ayah. Hati ibu tidak pernah terlepas dari memikirkan anak-anaknya, dan tidak
jarang ibu merasakan anak-anaknya masih kecil meskipun sudah dewasa dek kerana
begitu mendalam kepeduliannya kepada anak. Siapakah yang lebih besar
pengorbanannya dari seorang ibu?.
Tidak keterlaluan jika agama dan nilai kemanusiaan
meletakkan, buruknya akhlak anak terhadap ibu adalah sebuah kedurhakaan.
Apalagi kalau sampai menyakiti ibu. Kalaupun anak dengan semua kekayaannya
diberikan kepada ibu, nescaya tidak akan dapat menebus nilai kasih sayang
bahkan nilai yang tidak dapat kita ungkapkan dari seluruh jasa seorang ibu. Ketahuilah,
Jasa ibu tidak akan pernah kita dapat ukur dengan harta. Kalau itu ukurannya
sudah tentu kita semua tumbuh besar tetapi tidak dengan kasih sayang, keperluan
jasmani kita terpenuhi tetapi rohani kita kering, tidak pernah merasa belaian
kasih, manja dari seorang ibu. Apakah belaian kasih sayang, dakapan manja itu
mampu kita beli?. Ketika kita ketakutan dan merasa tidak selamat, ibu yang
menenangkan dan memberikan rasa aman dan selamat. Ketika kita sedih dan
terpukul, ibu juga yang memberikan pelukan semangat. Apakah semua itu dapat
kita tukarkan dengan harta.
Namun kadang jasa ibu begitu murah dihati kita.
Seseorang yang baru kita kenal dan sangat baik terhadap kita, kadang kita lebih
utamakan dari seorang ibu. Apalah jasa orang lain berbanding jasa ibu kita.
Belum tentu kebaikan orang lain seikhlas baiknya seorang ibu. Utamakan ibu
kita. Hormati dan hargai ibu kita. Berikan penghormatan dan balaslah kebaikan
ibu kita. Kasihnya sampai ke akhirat. Dambakanlah doanya buat kebaikan dan
keberkatan kita. Tidak ada doa yang paling ikhlas dan tanpa hijab, melainkan
doa ibu kita.
Sudah tentu kita ingat bagaimana kisah seorang ibu
kepada seorang pemuda yang bernama Al-Qomah. Sebetulnya Al-Qomah tidaklah
terlalu jahat terhadap ibunya. Hubungannya dan tanggungjawabnya dengan Allah
dipenuhi dengan baik. Cuma ada satu kekurangannya. Mari kita mengambil iktibar
bersama ;
Dikisahkan dalam satu riwayat bahwa pada
masa Rasulullah Saw ada seorang pemuda yang bernama Al-Qomah. Dia seorang
pemuda yang giat beribadah, rajin sholat, banyak puasa dan suka bershodaqoh.
Suatu hari dia sakit keras, maka
istrinya mengirim utusan kepada Rasulullah Saw untuk memberitahukan kepada
beliau Saw tentang keadaan Al-Qomah. Maka Rasulullah Saw kemudian mengutus
Ammar bin Yasir, Shuhaib ar Rumi dan Bilal bin Robah Ra untuk melihat
keadaannya.
Rasulullah bersabda, “Pergilah ke
rumah Al-Qomah dan talqinlah untuk mengucapkan Laa ilaha Illallah.”
Akhirnya mereka berangkat ke rumahnya.
Ternyata pada saat itu Al-Qomah sudah dalam keadaan naza’. Maka segeralah
mereka mentalqinnya, tetapi ternyata lisan Al-Qomah tidak bisa mengucapkan Laa
Ilaha Illallah.
Langsung saja mereka laporkan kejadian
ini pada Rasulullah Saw. Beliau bertanya, ”Apakah dia masih mempunyai kedua
orang tua?” Ada yang menjawab, ”Ada, wahai Rasulullah, dia masih
mempunyai seorang ibu yang sudah tua renta.”
Maka Rasulullah Saw mengirim utusan
untuk menemuinya, dan beliau berpesan kepada utusan tersebut, ”Katakan
kepada ibunya Al-Qomah, jika dia masih mampu untuk berjalan menemui Rasulullah,
maka datanglah, namun jika tidak, maka biarlah Rasulullah yang datang
menemuinya.”
Tatkala utusan itu sampai ke tempat
ibunya Al-Qomah, dan pesan beliau telah disampaikan, maka dia berkata, ”Sayalah
yang lebih berhak untuk mendatangi Rasulullah Saw.” Maka dia pun memakai
tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah Saw. Sesampainya di rumah
Rasulullah, maka dia mengucapkan salam dan Rasulullah pun menjawab salamnya,
lalu Rasulullah, ”Wahai ibu Al-Qomah, jawablah pertanyaanku dengan jujur.
Sebab jika engkau berbohong maka akan datang wahyu dari Allah azza wa jalla
yang akan memberitahukan (hal itu)
kepadaku.
Bagaimana sebenarnya keadaan putramu
Al-Qomah?” Sang ibu
menjawab, ”Wahai Rasulullah, dia rajin mengerjakan shalat, banyak
puasa, dan senang bersedekah.” Lalu Rasulullah bertanya, ”Lalu bagaimana
perasaanmu terhadapnya?” Dia menjawab, ”Saya marah kepadanya wahai
Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi, “Kenapa?” Dia menjawab,”Wahai
Rasulullah, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya, dan dia pun
durhaka kepadaku.”
Maka bersabda, ”Sesungguhnya
kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Al-Qomah sehingga tidak bisa
mengucapkan syahadat.” Kemudian beliau bersabda, ”Wahai Bilal, pergilah
dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.” Si Ibu bertanya,”Wahai
Rasulullah, apa yang akan engkau lakukan.” Beliau menjawab, ”Saya akan
membakarnya dihadapanmu.” Dia menjawab, ”Wahai Rasulullah, saya tidak
tahan apabila engkau membakar anakku dihadapanku.” Maka Rasulullah
menjawab, ”Wahai ibu Al-Qomah, sesungguhnya adzab Allah azza wa jalla lebih
pedih dan lama. Kalau engkau ingin agar Allah azza wa jalla mengampuninya, maka
relakanlah anakmu Al-Qomah. Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sholat,
puasa, dan sedekahnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau
masih marah kepadanya.” Lantas sang ibu ini berkata, ”Wahai Rasulullah, Allah
azza wa jalla sebagai saksi, serta semua kaum muslimin yang hadir saat ini,
bahwa saya telah ridho kepada anakku Al-Qomah.”
Rasulullah pun berkata kepada Bilal Ra,
”Wahai Bilal, pergilah kepadanya dan lihatlah apakah Al-Qomah sudah bisa
mengucapkan syahadat ataukah belum. Barangkali ibu Al-Qomah mengucapkan sesuatu
yang bukan berasal dari hatinya, atau barangkali dia hanya malu kepadaku.”
Bilal pun berangkat, dan ternyata dia
mendengar Al-Qomah dari dalam rumah mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Maka Bilal
masuk dan berkata, ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kemarahan ibu
Al-Qomah telah menghalangi lisannya sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat,
dan ridhonya telah menjadikannya mampu mengucapkan.”
Akhirnya Al-Qomah meninggal dunia saat
itu juga. Kemudian Rasulullah Saw melihatnya dan memerintahkan agar dia
dimandikan lalu dikafani, kemudian beliau mensholatinya dan menguburkannya, dan
di dekat kuburan itu beliau bersabda,
”Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshor, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, maka dia akan mendapatkan laknat dari Allah azza wa jalla, para malaikat, dan seluruh manusia. Allah azza wa jalla tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertaubat, dan berbuat baik kepada ibunya, serta meminta keridhoannya, karena ridho Allah azza wa jalla tergantung pada ridhonya dan kemarahan Allah azza wa jalla tergantung pada kemarahananya.”
”Wahai sekalian kaum Muhajirin dan Anshor, barangsiapa yang melebihkan istrinya daripada ibunya, maka dia akan mendapatkan laknat dari Allah azza wa jalla, para malaikat, dan seluruh manusia. Allah azza wa jalla tidak akan menerima amalannya sedikitpun kecuali kalau dia mau bertaubat, dan berbuat baik kepada ibunya, serta meminta keridhoannya, karena ridho Allah azza wa jalla tergantung pada ridhonya dan kemarahan Allah azza wa jalla tergantung pada kemarahananya.”
Semoga kisah ini
menjadi iktibar kepada kita. Kasih sayang seorang ibu tidak akan pernah
tergantikan. Insyaallah jumpa lagi di lain entri.
Wassalam
Tiada ulasan:
Catat Ulasan